Irama gendang menyuguhkan nuansa rancak. Lilin lebah kian mengepakkan sayapnya. Di atas panggung, Bentang Parahyangan –Mak- melenggang lenggokkan tubuhnya, membongkok. Ekspresi wajahnya yang berpuyan berpulas make up dan bersanggul segara dengan mahkota tiara di atas keningnya seperti itu ulem. Tersenyum, memainkan indra penglihatan bulatnya nan masih terlihat mulia dan nyawa, di usianya yang sudah mulai tiga puluh limaan. Seringkali Mak mengarun dan memainkan pantat biolanya dengan liukkan nan mengundang sorakan riuh spektator. Di radiks panggung, para lelaki nan ngibing1 dengan memegang gepokan duit di tangan, tukar berebut membagi saweran2 pada Mak. Tentu saja, melihat penggemarnya yang saling berebut, Mak makin beringas meliukkan awak sintalnya. Pemandangan itu menciptakan menjadikan Sati gerah. Jengah dipalingkannya wajahnya. Tak kuasa rasanya melihat Mak berlaku sebagaimana itu di atas panggung. Berenjut memberahikan dalam nada jaipong. Gerak-geriknya serupa itu mumbung trik pikat. Menciptakan menjadikan para lanang kekurangan akal bulus dan menaburkan uangnya di atas kancah. Internal salam akrab tangan Mak. Bahkan banyak juga nan sedemikian itu kurang ajarnya menyelipkan persen itu di tempat-bekas yang terasa larangan. Diselipkan di atas kemben kebayanya, ataupun di bebat pinggulnya. Sungguh, pemandangan yang malar-malar sudah lalu bertahun-tahun membuat Sati ceku. Namun, bertahun-hari juga, sejak ia kecil dan baru bisa melanglang sebatas beliau tumbuh dewasa seperti mana sekarang, Sati lain pernah ingin absen bagi mengikuti Mak dan rombongan jaipongannya nabeuh3 ke hajatan nan menjemput grup mereka. Barangkali sudah seperti kebiasaan yang candu. Tinggal, karena suatu kondisi, Mak terpaksa membawa Sati boncel yang bau kencur boleh bepergian selangkah dua langkah, pergi manggung. Keadaan itu terus berlangsung. Seiring dengan kepiawaian Mak dan namanya yang menginjak tersohor di kalangan para peminat jaipong, sebagai pesinden dan peronggeng ternama. Kemolekan Mak, suaranya yang buntar runyam kalau nyinden, kelenturannnya menari jaipong, memberi Mak poin plus untuk cepat dikenal. Terbit diajak serta, karena peristiwa tertekan. Sati katai tak ada yang ngasuh ataupun ngemong saat Mak manggung. Akhirnya rasam it uterus silau. Sati sering enggak pernah ketinggalan ikut jika Mak manggung. Malar-malar sampai ia beranjak taruna. Jika panggungan Mak dekat, Sati akan mengiringi Mak setakat acara tuntas. Kecuali jika jauh, Ia absen mengikuti Mak manggung. Mak dan Sati setuju seandainya sekolah yang harus dikedepankan. “Mak nggak mau Sati ketinggalan pendidikan begitu juga Mak. Sati harus mengutamakan belajar. Biar pinter. Biar jadi sarjana!” begitu selalu Mak menjatah wejangan. Sati anak dara, satu-satunya lakukan Mak. Sejak jiwa dasa bulan, Bapaknya Sati meninggalkan Mak karena tergoda perempuan tak. Sejak itu Mak yang bermain ganda menafkahi dan mendidik Sati. Mak yang masih terbilang belia ketika itu, dengan pendidikan nan hanya tamatan SD dengan keluarga anak yang masih sangat kecil, begitu kegalauan mencari pekerjaan untuk berdeging hidup. Mak tidak punya keahlian segala-barang apa. Bahkan untuk mengerjakan pekerjaan flat atau memantek, Mak bukan terbilang cekatan. Pantas cuma karena saat itu usia Mak masih tinggal belia. Ya, sebagai halnya kebanyakan gadis-gadis dusun, Mak menikah intern usia nan tinggal muda. Berkat, intern kebingungan itu, Om jauhnya menawari Mak bagi belajar nyinden dan menjadi penayub jaipong serta tukang kawih4 di grup jaipong yang layak naik daun di daerahnya. Mang Karso adv pernah kalo suara Mak melingkar dan bagus. Mak pernah membiasakan karawitan dan nyinden Cianjuran selepas tamat SD. Benar namun, enggak perlu belajar lama, Mak sekaligus diajak naik panggungan. Sejak saat itu lagi Sati kerdil diboyong manggung kemana-mana. Berawal dari butuh, marcapada seni yang kerap menghancurkan basyar lega nikmat euphoria, pun terjadi puas Mak. Terlebih saat Mak disukai banyak penggemar jaipong, jadi sri ajang yang mahal dan tersohor. Mak makin lupa diri. Banyak lelaki yang tergila-edan pada Mak. Itu membuat Mak terbuai. Sudah lain terbilang Mak sangkut-paut cerai dengan para bos-bos yang menggilainya. Kebanyakan hanya bertahan sama tua milu karena pernikahan yang dilakukan hanya secara siri atau sembunyi-sembunyi dari istri purwa. Enggak terbilang pula Mak didatangi para candik renta dan pasca- itu pernikahanpun hancur. Anehnya, Mak sepertinya tidak peduli dan tak merasa jera bikin terus mengulangi kesalahan serupa. “Sati nggak ingin tatap Mak sembarangan juga memilih nomine suami. Sati malu Mak! Citra buruk pesinden yang genit dan penunda tlah Mak hidupkan di diri Mak. Sati tak doyan!” protes keras Sati nan makin mengerti seiring pertumbuhan dirinya yang beranjak dewasa yang membuat Mak mulai menghentikan petualangannya puas lelaki-lelaki nan menggilainya. Tapi Mak juga membeberkan kalau semua itu Mak lakukan demi kesinambungan semangat mereka. “Kalau urusannya Mak penis seseorang nan bisa bersedia dan menerima vitalitas kita, carilah nan benar-benar pas Mak. Tidak teristiadat Mak pilih pejabat-bos fertil tapi punya istri. Pernikahan itu sakral Mak. Takkan Mak mencoreng moreng taki perpautan dengan terus kawin cerai. Carilah lelaki yang sayang sama kita, mau nerima Mak segala adanya. Tak kayapun taka pa-apa, radiks cak hendak berkreasi. Itu cukup buat Sati Mak!” “Tapi beliau butuh biaya osean sekarang Nak! Sebentar lagi kamu lenyap SMU. Mak pengen kamu menyinambungkan ke perguruan jenjang, Sati. Menjadi dokter sebagai halnya cita-citamu, itu ketel membutuhka biaya yang sangat besar. Mak kepingin jujurkan sekolahmu sampai kamu makara orang’. Tapia pa layak hanya dengan mengandalkan penghasilan Mak ibarat pesinden? Izinkan Mak menerima pinangan Bos Hendi ya Nak? Dia pemanufaktur kayu dan property gedung yang banyak duitnya. Mak janji kali ini Mak mau menjaga akad nikah kami. Mak ingin membedabedakan. Itu demi kamu Nak!” alai-belai Mak dengan suara yang lirih dan penuh haru terus terngiang di kuping Sati. Kata-introduksi Mak itu pun yang mewujudkan Sati seolah perang dingin dengan Mak. Sati patuh mengikuti Mak manggung. Seperti lilin batik ini. Itu Sati lakukan demi sebuah misi. Menjaga Mak sepatutnya tak kegenitan pada penggemar-peminat lelakinya, tercatat bos tiang cengengesan yang sudah lalu lama mencitacitakan Mak. Sati tetap enggak mau Mak nikah kembali, kalau dengan lanang itu. Untuk itu Sati melancarkan perang dingin dengan Mak. Udang rebon kudu eling, ulah jongjon teuing… Di dunya ebi ngumbara, henteu lestari salawasna…5’Kritik bulat, berat namun bening milik Mak berdesing diikuti tepak kendang nan mampu mengundang para pemadat jaipong untuk mengibing. Sati seperti tersadar dari lamunannya. Terlebih ketika seseorang menepuk pundaknya. Sati tergeragap, serentak menoleh ke sisi kirinya. “Melamun aja Ti. Ntar kesurupan lho!” Amir, anak ketua pemilik grup Jaipong sudah nyengir di sampingnya. Amir sengaja menggantikan Bapaknya mengiringi grup Jaipongnya. Kebetulan kuliahnya di Sekolah Pangkat Seni Indonesia STSI medium perlop semester. “Ahh nggak kok A. Duduk bungkam saja disini. Abis, mau ngomong proporsional siapa?” Sati mesem takjim puas anak majikan Maknya itu.“Kenapa gak ikutan nyinden atau goyang badan sama Makmu di panggung sana Ti? Lumayan ka bisa dapet saweran…”Sati mendecak. “Malulah A. Lihat tingkah Mak di panggung cuma aku malu. Terlebih sertaan nyinden alias ngibing. Nggak ahh!”“Lho? Kenapa mesti malu? Nari atau nyinden? Itu seni lho Ti. Seni budaya kita yang sudah hendaknya kita jaga dan lestarikan. Aku malah bangga sama Buya nan tegar menjaga grup ini tetap usia meskipun dengan nyawa yang mutakadim kembang kempis. Terharu karena saat ini tak begitu banyak sosok yang cak hendak nanggap jaipong di program-acara hajatan atau keriaan. Orang saat ini maunya manggil Organ dangdut lakukan acara-program hiburannya. Aku malah berencana akan ikut menjaga kesenian ini seyogiannya tetap hidup dan ditanggap anak adam…” introduksi-kata Amir itu membentuk Sati menyambungkan tatapnya pada cowok manis nan berpostur jangkung itu. Takjub juga. “Aa tahu segala nan membuatmu merasa sipu dengan pekerjaan Makmu dan seni jaipong ini. Tapi Ti…seni dimana-manapun kontroversi pelakunya memang sama dengan itu. Karena privat seni, ada pembawaan, terserah gairah, yang seandainya si pelaku tidak juru mengendalikannya akan membuatnya terseret sirkuit. Itu tercalit orang per orang pribadinya Ti. Padalah, sekali lagi pada pribadi masing-masing buat menyikapi dan menjalaninya. Kalau saja sudah terlanjur terserah label yang berlaku, berarti tugas kita untuk meluruskan dan memperbaikinya. Tapi Ti…Aa yakin, darah seni itu bergerak kental di tubuh kamu!” malam itu setelah perbincangan lumayan tataran dengan Amir, Sati untuk yang mula-mula kalinya membuat wajah Mak dipenuhi kejut. Mak tak percaya dengan pandangannya. Sati meronggeng jaipong Tanding Manis’ dengan tarian yang indah dengan liukan badan yang luwes, dinamis. “Sati kepingin jadi juru kawih dan tukang tari jaipong!” tegas Sati di pangkuan Mak dan paman-pamannya. Menciptakan bengong dan nelangsa yang menengok-ubah di wajah Mak. Sati, Mak tahu betul sifat anak itu. Sati memang agak tebal bibir, kritis sedari kecil, serius tapi jika sudah ada kemauan, ia akan setia mempertahankan segala apa nan dia mau. Keras kepala anak itu. Mak mutakadim menanyakan berulang kelihatannya kemana Sati akan menyinambungkan kuliah. Momen itu Sati memang tak memberi jawaban pasti. Keinginannya masih heterogen. Sesekali ia mendedahkan ingin kaprikornus tabib karena ain tuntunan MIPA yang sangat dikuasainya. Tapi rajin juga keinginannya berbelot bikin menjadi guru dengan alasan kepingin mengabdikan dirinya di rataan pendidikan buat anak-anak tak mampu di pedesaan. Sekarang, beliau keukeuh mau menjadi penari dan pesinden, itu semenjak Sati akrab dengan Amir, anak majikan grup seninya. “Pikirkan kembali Sati. Untuk apa menjadi peronggeng dan pesinden? Profesi yang enggak dilirik anak-anak ampuh sampai-sampai di jaman waktu ini. Apa istimewanya? Dia lihatlah Mak! Cak agar Mak berhasil menjadi pesinden tersohor tapi bukankah sira seringkali enggak gemar dengan profesi Mak?” Mak mencoba mempengaruhi jalan pikiran Sati. “Nan Sati nggak doyan bukan masalah seni jaipongnya. Tapi sikap Mak yang pecicilan, genit dan suka memanfaatkan popularitas Mak lakukan menggoda para lelaki. Sati ingin memperbaiki citra pesinden dan bedaya jaipong pun melestarikan seninya itu sendiri Mak. Jaipong itu seni tradisional kita yang suntuk unik dan indah. Tepak kendangnya, bunyi gamelannya begitu rancak dan menggugah. Pesan-pesan moral dalam tembang-tembangnya nan abadi dan memiliki pakem tersendiri, lewat sarat ajaran kelebihan. Mak renungi lagu Bangbung Hideung, Awet Rajet, Papacangan, semua liriknya menerimakan nasehat dan wejangan nan suntuk signifikan jika kita renungi…”terang Sati panjang lebar. Masukan Mak nan memberinya beragam alasan sudah lain digubrisnya juga. Sati loyal berkuat untuk melanjutkan sekolahnya ke STSI dan mendalami seni karawitan. Mak lagi tak bisa mencegah lagi ketika Sati dengan intens melebur ke dalam grupnya. Ikut manggung dan menjadi penari jaipong. Mendayukan ibing jaipong yang sangat luhur, elastis dan mempelajari vakem gerakannya setakat tidak terkesan memberahikan dan haram sama dengan yang selama ini dicitrakan para penari panggungan lainnya. *** Riuh keplokan mendengung di balai Kabupaten sehabis para penari dengan kostum butuh merak lengkap dengan mahkota superior burung dan sayap indah warna warni itu usai menarikan satu lagu jaipong. Usaha yang tertata dan terasuh apik dan luhur, sangat dinamis sonder melepaskan kesan semok semenjak joget jaipong itu sendiri, namun lebih terkesan santun dan berkelas, membuat para penonton terpana dan takjub. Termasuk Pak Wedana yang duduk di deretan kedudukan kegadisan, paling depan. Lima hamba allah pakar kawih, muda dan cantik, seling nyinden memperdengarkan kritik khasnya nan bening. “Rumah tangga jeung manehna…Buya Wedana yang terhormat…geus teu kaitung lilana. Ti bujangan jeung parawan…Bapak Sekwilda…tepi ka reauy anakna…6” Sambil ngawih, Pesinden tetap menyebut namun n domestik panggilan nan makin benar. Kata sayang’ atau ganteng’ dengan dibarengi permohonan saweran bukan lagi digunakan. Itu berkat aturan hijau berusul pimpinan grup Seni jaipong “Wanda Baru” arahan Amir dan Sati. Dua individu generasi penerus seni tradisional jaipongan yang sudah menyelesaikan studynya dan bahu bisnis memajukan grup kesenian itu. Sati sengaja menjeput panayagan7, Pakar Kawih dan Bedaya Jaipong yang dibentuk partikular intern beberapa grup ajojing yang sedikitnya menampilkan dua atau tiga orang pada satu lagu, semua dari alumni sekolahnya. Mereka ilmuwan-jauhari seni yang mau bergabung bikin membangun satu misi. Melestarikan budaya dan membangun pencitraan nan nyata dan masih tetap nyinden perumpamaan juru kawih sepuh di antara para juru kawih muda. Masih konstan menari jaipong dengan ogok kepiawaiannya melenturkan tangan dan badan, namun tanpa kerlingan mata menggodanya. Sati menyasarkan Mak bikin santun membawa diri, bak pekerja seni. *** Catatan KakiNgibing Joget/nari sebutan untuk pejoget JaipongSaweran Uang nan dibagikan penonton nan dansa pada pesinden Nabeuh Manggung/menanjak panggung/panggilan manggungPandai Kawih Pesinden/Penyanyi lagu JaipongPanayagan Panggilan untuk para penabuh klonengan *** karya ratna Embok nama pena dari Runengsih, pemukim Lebaksiuh Rt 001/05 Desa Sukasari Kec. Dawuan kab. Subang. Beberapa tulisannya koneksi dimuat di beberapa tabliod akil balig, jurnal dan majalah. Beberapa buku antologi telah diterbitkan foto ilustrasi _____________Dapatkan pelintasan berita Subang via Follow Twitter tintahijaucomLike Faceboook Sidang pengarang TintahijauIklan & Promo 089624350851
- Pola lantai dalam tari jika digambarkan berupa lintasan garis lurus atau diagonal, horizontal, serta vertikal dinamis pada lantai. Pola lantai tarian menggunakan unsur ruang. Pola lantai adalah pola garis yang dijadikan lintasan ketika melaukan pergelaran tari. Pola lantai juga dapat diartikan sebagai garis yang menentukan bentuk pola dalamkarya seni tari yang ditampilkan di atas panggung, serta membentuk formasi. Dalam buku Tari Tradisi Melayu, Eksistensi, dan Revitalisasi Seni 2016 oleh Muhdi Kurnia, pola lantai dibuat untuk memperindah pertunjukan karya tari. Hal ini karena pembuatan pola antai harus memperhatikan beberapa hal, seperti variasi bentuk pola lantai, makna pola lantai, jumlah penari, ruangan atau tempat pertunjukan, dan gerak tari. Baca juga Gerakan dan Pola Lantai Tari Merak Jenis pola lantai DIkutip dari buku Pendidikan Seni Tari 2018 karya Taat Kurnita Yeniningsih, pola lantai dalam tari terbagi menjadi Pola lantai garis lurus Pola lantai garis lurus biasanya dilakukan olehpenari tunggal, karena memberikan kesan kuat, kokoh, dan jelas dalam tarian. Namun, tidak sedikit juga pola lantaia garis lurus diterapkan dalam tari berpasangan atau kelompok. Toga bentuk penyajian pola lantai garis lurus terdiri dari Pola lantai diagonalPenari dalam lantai diagonal bergerak membentuk garis melintang dari sudut kiri bawah ke kanan atas atau sebaliknya. Contoh tariannya adalah Tari Gending Sriwijaya dari Sumatra Selatan serta Tari Pendet dari Bali. Pola lantai vertikalDalam pola lantai vertikal, penari bergerak seperti garis horizontal. Hanya saja gerakannya membentuk garis dari depan ke belakang. Seperti dalam Tari Serimpi, Jawa Tengah dan Tari Yospan dari Papua. Pola lantai horizontalDalam pola ini, penari bergerak membentuk garis dari kiri ke kanan dan sebaliknya. Contoh tariannya adalah Tari Indang dari Sumatra Barat dan Tari Saman dari Aceh. Baca juga Pola Lantai Pengertian, Tujuan, dan Jenisnya Pola lantai garis lengkung Poa lantai garis lengkung umumnya digunakan penari kelompok. Pola lantai garis lengkung memberikan kesan menarik dan lemah lembur, terlihat samar-samar. Pola lantai garis lengkung terbagi menjadi beberapa macam, yakni pola antai lingkaran, pola lantai angka delapan, dan pola lantai lengkung ke belakang. Contoh tarian yang menggunakan pola lantai lengkung, di antaranya Tari Kecak Bali pola lantai lingkaran, Tari Piring pola lantai angka delapan, Tari Randai pola lantai garis lengkung, dan masih banyak lainnya. Contoh tarian beserta pola lantainya Berikut contoh tarian tradisional Indonesia dan pola lantai tari yang digunakan Tari Bungong Jeumpa, AcehTari Bungong Jeumpa menggunakan pola lantai vertikal dan horizontal. Penari membentuk garis lurus, dari depan ke belakang dan garis menyamping dari kanan ke kiri. Tari Jaipong dari Jawa BaratTari Jaipong menggunakan pola garis lurus horizontal, vertikal, dan diagonal. Tari Jaran Kepang, YogyakartaTari Jaran Kepang menggunakan pola lantai lurus dan lengkung, seperti pola melingkar, garis vertikal, dan horizontal. Tari Baris Gede, BaliTarian ini menggunakan jenis pola lantai garis lurus. Tari Tandak, RiauTarian ini menggunakan pola lantai gabungan lingkaran, lurus, serta zig-zag. Tari Ma’badong, Sulawesi SelatanTarian ini menggunakan pola lantai melengkung. Baca juga Jenis Pola Lantai dalam Seni Tari Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.VzRK4y.